Kamis, 21 Juli 2011

MARHAENISME, IDEOLOGI SOEKARNO YANG PEDULI RAKYAT KECIL

 Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata Idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar; dan logos yang berarti ilmu. Kata Idea berasal dari kata bahasa Yunani eidos yang berarti bentuk. Di samping itu ada kata idein yang berarti melihat. Maka secara harfiah, ideologi berarti ilmu tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, kata idea disamakan artinya dengan cita-cita. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan suatu dasar, pandangan atau faham (Kaelan, 2007: 152). Memang pada hakikatnya, antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat merupakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan karena atas suatu landasan, asas atau dasar yang telah ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang ide-ide, pengertian dasar, gagasan dan cita-cita.
Bilamana ditelusuri secara historis, Pranarka (1987 dalam Kaelan, 2007: 152) menjelaskan, bahwa istilah ideologi pertama kali dipakai dan dikemukakan oleh seorang Perancis yang bernama Destutt de Tracy pada tahun 1976. Seperti halnya Leibniz, de Tracy mempunyai cita-cita untuk membangun sistem pengetahuan. Apabila Leibniz menyebutkan impiannya sebagai “One great system of truth”, di mana tergabung segala cabang ilmu dan segala kebenaran ilmiah, maka de Tracy menyebutkan Ideologie, yaitu science of ideas, suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Perancis. Namun Napoleon mencemoohkannya sebagai suatu khayalan belaka yang tidak akan menemukan kenyataan.
Superstruktur masing-masing masyarakat, mengembangkan apa yang disebut sebagai ideologi, seperangkat keyakinan resmi atau doktrin agama yang membenarkan keyakinan resmi atau doktrin agama yang membenarkan keyakinan resmi atau doktrin agama yang membenarkan eksistensi kelas yang berkuasa. Marx juga pernah mengartikan ideologi sebagai “a false consciouness”, dengan kata lain sebuah pandangan dunia yang terdistorsi oleh kepentingan kelas penghisap dan dibangun untuk menjustifikasi kepentingan kelas tersebut (Hartisekar & Isjani Abadi, 2001: 27).
Perhatian kepada konsep ideologi menjadi berkembang lagi antara lain karena pengaruh Karl Marx. Ideologi menjadi vokabuler penting di dalam pemikiran politik maupun ekonomi. Karl Marx mengartikan ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Dalam artian ini, ideologi menjadi bagian dari apa yang disebutnya Uberbau atau suprastruktur yang didirikan di atas kekuatan-kekuatan yang memiliki faktor-faktor produksi yang menentukan coraknya, dan oleh karena itu kebenarannya bersifat relatif dan semata-mata benar hanya untuk golongan tertentu. Dengan demikian, maka ideologi merupakan keseluruhan ide yang relatif karena justru mencerminkan kekuatan lapisan.
Soemargono (8 dalam Kaelan, 2007: 153) menjelaskan, bahwa seperti halnya filsafat, ideologi pun memiliki pengertian yang berbeda-beda. Begitu pula dapat ditemukan berbagai definisi, batasan pengertian tentang ideologi. Hal itu antara lain disebabkan juga oleh dasar filsafat apa yang dianut karena sesungguhnya ideologi itu bersumber kepada suatu filsafat tertentu. Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut:
a.       Bidang politik
b.      Bidang sosial
c.       Bidang kebudayaan
d.      Bidang keagamaan

Sejarah Lahirnya Marhaenisme
Sewaktu masih sekolah di HBS, Soekarno membaca apa saja yang bisa diperoleh. Barangkali baru di Bandung Soekarno bisa memilah-milah pengetahuan yang ia peroleh dari bacaannya di Surabaya. Orang yang membantunya dalam hal ini adalah D.M.G. Koch. Marcel Koch yang dilahirkan pada 1881 tumbuh dalam keluarga Marxis. Tetapi lambat laun beralih menganut aliran sosialisme yang demokratis dan menjadi anggota ISDP. Tahun 1925 Koch mendapat pekerjaan sebagai pengelola perpustakaan Departemen Perusahaan-perusahaan Negara. Sesudah berkenalan dengan Koch, Soekarno sering mengunjunginya di rumahnya di jalan Papandayan yang tidak jauh dari Regentsweg (Giebels, 2001: 58).
Pandangan Marxis Soekarno didasarkan pada ideologi Marxis Kautsky. Karl Kautsky diakui oleh dunia internasional sebagai seorang penafsir ideologi Marxis. Pengakuan demikian diberikan kepada Kautsky, yang di masa mudanya di London berkenalan pribadi dengan Marx dan Engels, karena ia telah menulis sejumlah besar buku dan artikel yang menjelaskan ajaran Marx dengan tuntas dan mudah dimengerti. Mula-mula Kautsky adalah seorang Marxis yang revolusioner, tetapi di kemudian hari dengan tetap berpegang pada ajaran Marx dan Engels, ia menjadi seorang sosialis evolusioner. Kemudian oleh Soekarno ideologi Marxisme evolusioner dari Kautsky diubah menjadi suatu konsepnya sendiri untuk nasionalisme Indonesia. Menurut Hartisekar & Isjani Abadi (2001: 24) Teori Marxisme dikerjakan oleh Karl Marx dan Engels dalam waktu lama sepanjang periode abad ke-19. Sepanjang waktu itu, ada tahap-tahap yang memperlihatkan adanya perbedaan penekanan, bahkan kontradiksi-kontradiksi dalam pemikiran mereka. Pada tahun 1945, ketika berusia 27 tahun, Marx amat terpengaruh oleh tiga aliran pemikiran utama yang mempengaruhi teori-teorinya. Ketika aliran pemikiran itu adalah Filsafat Jerman (Hegel), Sosialisme Utopia Prancis, dan teori Ekonomi Klasik Inggris.
Sama seperti dalam jalan pemikiran Kautsky, kaum proletariat akan meraih kekuasaan pada waktu diadakan pemilihan, begitu pula bangsa Indonesia pada suatu ketika akan mendapatkan kemerdekaan karena jumlah kaum pribumi yang kelebihan numerik mereka. Dengan kata lain, suatu revolusi damai pasti akan berlangsung. Tujuan akhirnya mungkin bisa diartikan sebagai revolusioner, tetapi upaya untuk mendapatkannya pasti tidak revolusioner. Selain nama Kautsky, Soekarno juga menjumpai nama Bakoenin. Ia tidak menyetujui anggapan kaum Marxis bahwa hanya kaum proletariat industri daerah perkotaan yang bisa dijadikan pasukan penggempur dalam suatu perjuangan revolusioner. Bakoenin juga berpendapat bahwa tidak bisa disangkal jika kaum petani kecil merupakan sekutu yang mutlak dibutuhkan dalam perjuangan ini.
Proletar adalah sebuah kelas yang mencari kehidupan dari pejualan tenaganya, sedangkan kaum borjuis adalah pemilik sumber-sumber produktif yang dipakai kaum proletar bekerja. Borjuis memperoleh keuntungan terutama dari bunga, dan pinjaman, walaupun mungkin memperoleh pengahsilan lain dalam bentuk gaji atau tugas-tugas manjerial serta koordinasi kegiatan (Hartisekar & Isjani Abadi, 2001: 29). Sedangkan menurut Feith & Castles (1988: 142-143) Proletar adalah orang yang menjualkan tenaganya kepada orang lain, dengan tidak ikut memiliki alat-alat produksi. Proletar adalah buruh, dengan tidak memiliki alat-alat produksi. Tetapi bangsa kita, terdiri daripada puluhan juta rakyat, yang tidak semuanya masuk ke dalam istilah Proletar ini.
Kemudian oleh Soekarno, ide kedua tokoh di atas disatukan. Seperti yang disebutkan dalam Giebels (2001: 59), ide-ide Kautsky dan Bakoenin oleh Soekarno digabung menjadi ideologi yang ia sebut marhaenisme. Teori ini ia kembangkan ketika sedang bersepeda di sekitar Bandung, ia bertemu dengan seorang petani yang sedang bekerja di sawah. Soekarno bercakap-cakap dengannya dan waktu ia bertanya milik siapakah sawah yang sedang dikerjakan petani ini, petani menjawab bahwa itu tanah miliknya sendiri, begitu pula pacul yang dipakainya, padi yang kelak dipanennya, dan gubuk sederhana di tepi sawah tadi. Ia tidak mempekerjakan siapa-siapa, kata petani tadi, dan ia tidak bekerja untuk siapa-siapa. Soekarno sadar bahwa petani kecil ini walaupun miskin sekali bisa dianggap sebagai seorang pengusaha mandiri dan bahwa hal itu juga berlaku bagi si penjual sate, si nelayan, orang yang mengangkut barang dengan dokarnya, dan masih banyak ragamnya lagi. Ia menanyakan nama si petani. “Marhaen”, jawab dia. Dengan demikian, waktu itu lahirlah nama untuk teori yang senantiasa mengilhami ideologi politik Soekarno yang akan ia ajukan dengan meyakinkan sekali.
“Berpuluh-puluh buruh miskin kita tidak bekerja untuk orang lain dan orang lain tidak bekerja untuk mereka. Bukannya manusia yang satu dihisap oleh manusia yang lain. Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia di dalam praktek”. 

Pernyataan mengenai awal mula munculnya istilah Marhaenisme di atas sama halnya dengan pernyataan Mulyana (2008: 186-187), bahwa pada suatu hari, Soekarno berjalan-jalan di sebelah kota Bandung di desa Cigereleng. Ia melihat petani laki-laki yang sedang bekerja di sawahnya. Dalam tanya jawab, ia tahu bahwa alat cangkul yang digunakan oleh petani itu adalah milik petani itu sendiri; tanah yang digarapnya juga miliknya sendiri; hasil padi yang dipungut dari sawah adalah hak petani itu sendiri. Akan tetapi, petani itu hidupnya miskin, rumahnya reot. Jelas, orang itu bukan buruh yang hidupnya bergantung kepada majikan. Karena mereka tidak menerima upah dari siapa pun, ia bukan buruh atau pun ploretar. Namnya adalah Marhaen. Nama petani itulah yang kemudian digunakan oleh Soekarno untuk melawan penjajah. Katanya: “Timbullah ilham. Kalau begitu, semua rakyat Indonesia yang miskin ini saya namakan Marhaen[1]; ya yang proletar, ya yang bukan proletar, ya yang buruh, ya yang petani, ya yang nelayan, ya yang tukang gerobak, ya yang pegawai, pendeknya yang kecil-kecil itu semua Marhaen”.
Dalam Pidato Marhaen dan Kaum Proletar yang disampaikan oleh Presiden Indonesia di depan suatu rapat PNI tanggal 3 Juli 1957, tepatnya pada hari ulang tahun ketigapuluh partai tersebut, Soekarno berkata:
“Misalnya, saudara-saudara, tukang roda (istilah Bandung) bukan buruh, bukan tani, masuk golongan apakah ia? Tukang-tukang nelayan di pinggir pantai, bukan buruh, bukan tani, masuk golongan apakah ia? Kaum pedagang-pedagang kecil, yang mengadakan warung-warung, bukan buruh, bukan tani, termasuk golongan apakah ia? Saudara-saudara, dahulu ada satu istilah yang terkenal di dalam tahun 1926, di kalangan rakyat Indonesia, yaitu perkataan Proletar. Perkataan Proletar ini sering tidak dimengerti akan artinya. Perkataan Proletar ini dipergunakan di dalam tahun 1926 itu, untuk menggambarkan seluruh rakyat yang jembel, Proletar. Tetapi ia bukan proletar sama sekali.

Sudah saya terangkan dulu kepada saudara-saudara, kawan-kawan lama, apa sebab saya memakai perkataan Marhaen, tak lain tak bukan ialah oleh karena saya pada suatu hari berjalan-jalan di sawah Kiduleun Cigereleng, saudara-saudara saya berjumpa dengan seorang-orang yang sedang memacul di sana, saya bertanya kepadanya: “Saudara, tanah ini siapa punya?” Gaduh abdi. Jadi, dia ikut memiliki alat produksi, sawah ini ia punya. Ini pacul, siapa punya? Gaduh abdi. Alat-alat ini, siapa punya? Gaduh abdi. Tetapi saudara, engkau hidup miskin. Betul, saya hidup miskin.
Pada waktu itulah saudara-saudara, saya tanya kepadanya: “Nama saudara siapa?”. “Heh, abdi Marhaen”. Pada waktu itu dia berkata, bahwa dia punya nama adalah Marhaen. Mendapat ilhamlah pada waktu itu, saudara-saudara, Bung Karno. La, ini nama akan saya pegang terus. Ini nama akan saya pakai untuk menggambarkan Rakyat Indonesia yang jembel (Feith & Castles, 1988: 142).

Kata ini telah mendominasi perdebatan politik di Indonesia sejak sekitar 1932. Sebelumnya, kata itu boleh dikatakan tak dikenal sama sekali. Kalangan-kalangan politik untuk pertama kalinya mendengar kata itu dalam pidato pembelaan Soekarno, di mana ia menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia, sebagai akibat dominasi imperialisme selama berabad-abad, adalah khas masyarakat orang kecil: “(Ia adalah) pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata… kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil” (Dahm, 1987: 175).
Soekarno telah memperoleh peluang yang baik sekali untuk memberikan gambaran itu dalam sidang pengadilan, di mana ia tidak hanya melukiskan kondisi mereka, akan tetapi juga menjelaskan kepada majelis hakim bagaimana Partai Nasional harus berpedoman kepada mereka yang merupakan rakyat:

(Dalam) pergaulan hidup yang hampir penuh dengan kaum Kromo dan kaum Marhaen saja ini, kami dari Partai Nasional Indonesia…, kami harus menjalankan politik yang Kromoistis dan Marhaenistis pula… Tidak bisalah kami mencoba mengalahkan imperialisme itu dengan mendesaknya keluar dengan kekuatan persaingan ekonomi, tidak bisalah kami mencoba melemahkan dayanya dengan daya self containing yang nasional ekonomis sebagai di India itu. Kami hanya bisa mengalahkannya dengan aksi Kang Kromo dan Kang Marhaen dengan massa aksi kabangsaan yang sebesar-besarnya. Kami mencoba menyusun-nyusun energy massa yang berjuta-juta itu, mencoba membelokkan energi segenap kaum intelektual Indonesia ke arah susunan massa itu…
Di dalam massa, dengan massa, untuk massa!”, - itulah yang harus menjadi semboyan kami dan semboyan tiap-tiap orang Indonesia yang mau berjuang untuk keselamatan tanah air dan bangsa!

Aneka ragam rakyat kecil perlu dipersatukan, namun usaha untuk mempersatukan terbentur pada beberapa persoalan, yakni persoalan kepentingan golongan, kepentingan rasa kedaerahan, kepentingan agama, dan lain-lain. Oleh karena itu, sejak awal dalam gagasan mempersatukan kaum marhaen itu harus mempunyai watak tertentu untuk mencapai tujuannya. Watak itu adalah watak revolusioner. Yang dimaksud revolusioner adalah menentang kapitalisme. Kata Bung Karno: “Nah ini saudara, masukkan ke dalam gerakan rakyat bahwa semua harus revolusioner, artinya semuanya harus menentang imperialisme sebab siapa menentang imperialisme, buruhkah, petanikah, pegawaikah, orang dari golongan agamakah, sosialisasikah, bukan demokrasi formalkah, siapa yang menentang imperialisme adalah revolusioner. Ini adalah satu golongan persatuan daripada segenap kaum kecil Indonesia tadi yang ku terangkan” (Mulyana, 2008: 187).
Dalam pedoman pokok pelaksanaan deklarasi Marhaenis ditegaskan oleh Soekarno, bahwa Marhaenisme bukan sekedar teori politik, malainkan teori perjuangan. Sebagaimana Marxisme bukan sekadar teori, bukan sekadar teori ekonomi, bukan sekadar teori politik, melainkan lebih dari sebuah teori. Marxis adalah teori perjuangan untuk menghantam kapitalisme, untuk membangun masyarakat sosialis, demikian pula Marhaenisme. Asas Marhaenisme adalah perjuangan menentang kolonialisme yang menguasai Indonesia melalui massa-aksi kaum Proletar dan petani umtuk melawan kapitalisme dan feodalisme. Oleh karena itu, secara tegas ditandaskan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan pada keadaan dan kondisi Indonesia (Mulyana, 2008: 187-188).
Untuk dapat menggugurkan stelsel imperialisme diperlukan persatuan kaum Marhaen yang sanggup mengadakan massa-aksi. Massa-aksi selalu menjadi penghantar pada saat masyarakat lama melangkah ke dalam masyarakat baru. Kaum Marhaen harus digerakkan dalam satu pergerakan massa yang sadar, radikal. Artinya, dalam pergerakan massa yang tahu benar akan jalan dan maksud tujuan. Hanya massa-aksi yang sadar dan radikal yang dapat digunakan untuk menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme. Untuk membuat massa-aksi itu sadar dan radikal diperlukan adanya satu partai pelopor yang mendidik dan memimpin rakyat dalam perjalanan ke arah kemenangan.
Menurut tafsiran Sjahrir, Marhaenisme berarti memusatkan perhatian pada massa dan kepada massa saja. Semua golongan lainnya dianggap merintangi pergerakan kemerdekaan dan harus dihindari sama sekali. Sesungguhnya bukan demikian maksud Soekarno, penemu Marhaenisme. Dalam siding pengadilan ia tegas-tegas menyatakan keinginannya untuk bekerjasama dengan kaum borjuis masih belum mempunyai kekuasaan, maka pergerakan pertama-tama ditujukan kepada massa. Ia percaya bahwa dalam Marhaenisme ia telah menemukan sebuah rumusan yang mencakup “praktis segenap masyarakat Indonesia”. Karena, umpamanya, “kaum pedagang kecil” sudah termasuk di dalamnya, maka pintu juga terbuka bagi yang lain-lainnya, karena Soekarno menganggap dirinya bukan sebagai juru bicara satu golongan saja, melainkan seperti dikatakannya waktu itu, “sebagai wakil segenap rakyat Indonesia”.

Perkembangan Kaum Marhaenisme
Sampai akhir 1930, uangkapan yang lazim bagi “orang kecil” adalah “kromo”. Tetapi, sejak permulaan propaganda PKI istilah itu seringkali dipakai untuk mengacu kepada kaum proletar. Ini memaksa Soekarno untuk mencari istilah baru. Salah satu upaya terbesar Soekarno dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Bertolak dari pertemuan pribadinya dengan petani Marhaen. Soekarno merasa terpanggil untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia. Ia juga merasa perlu untuk memberikan peranan kepada mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme yang kapitalistik itu. Kaum Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar dalam gagasan Karl Marx, diharapkan menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan suatu masyarakat baru yang lebih adil. Dalam perkembangannya berikutnya, sebagaimana dikatakan oleh Soekarno sendiri, Marhaenisme akan berkembang dan menjadi Sosialisme Indonesia dalam praktik.
Soekarno (2010: 125) menyatakan, bahwa pergerakan Indonesia haruslah suatu pergerakan yang mencari tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan Kang Marhaen saja, oleh karena Indonesia hampir melulu mempunyai kaum Kromo dan kaum Marhaen belaka. Di dalam tangan kaum Kromo dan kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum Kromo dan kaum Marhaen itu terutama harus dicari tenaganya.
Dan rakyat Indonesia yang jembel itu bukan satu juta, bukan dua juta , bukan tiga juta, hampir seluruh rakyat Indonesia adalah rakyat jembel. Hampir seluruh rakyat Indonesia adalah Marhaen! Yaitu rakyat jembel, ya buruh jembel, ya tani jembel, ya nelayan jembel, ya klerk jembel, ya tukang warung jembel, ya kusir jembel, ya sopir jembel, semuanya ini tercakup dengan satu perkataan: Marhaen (Feith & Castles, 1988: 143).
Bahkan Rahardjo & Herdianto (2001: 52) dalam buku Bung Karno dan Ekonomi Berdikari mengemukakan sebagai berikut, tentang pendapatan, yakni inkomen kita kaum Marhaen, maka saya hampir di dalam tiap-tiap rapat umum telah memberi angka-angka yang mendirikan bulu. Sering saya terangkan bahwa pendapatan itu sebelumnya zaman meleset adalah 8 sen seorang sehari, bahwa kemudian di dalam permulaan zaman meleset ia merosot menjadi 4 รก 4 setengah sen seorang sehari, dan bahwa kemudian lagi ia lebih merosot lagi menjadi sebenggol seorang sehari.
Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme, ditegaskan bahwa Marhaenisme menolak tiap tindak borjuisme yang menurut Soekarno merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Soekarno berpendapat bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx. Artinya, mereka ini merupakan kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya ketika digerakkan dalam gelora revolusi akan mampu mengubah dunia (Wardaya S.J, 2006: 44).
Meskipun demikian, konsep Marhaen sebagaimana dipahami oleh Soekarno itu mirip tetapi sekaligus berbeda dengan konsep proletariatnya Marx. Sebagaimana kaum proletar, kaum Marhaen itu miskin, berada di lapisan bawah masyarakat, dan jutaan jumlahnya. Tetapi berbeda dengan kaum proletarnya Marx, kaum Marhaen tidak bekerja untuk orang lain dan mereka memiliki alat produksinya sendiri, seperti cangkul dan tanah garapan. Menurut Soekarno pengertian kaum Marhaen itu lebih luas daripada kaum proletar karena kaum Marhaen mencakup tidak hanya kaum buruh, melainkan juga para petani dan setiap orang Indonesia yang miskin. Apapun persamaan dan perbedaannya, yang perlu dipahami bagi Soekarno adalah upaya mengusir setiap bentuk kapitalisme dan imperialisme.
Tidak lama setelah Soekarno memasuki Partai Indonesia, Soekarno menerbitkan sebuah artikel, “Demokrasi-Politik dan Demokrasi-Ekonomi”, di mana ia memperingatkan kaum Marhaen untuk tidak meniru demokrasi yang dipraktekkan di luar negeri, bentuk demokrasi seperti itu tidak akan menjamin kesejahteraan kaum Marhaen, karena ia hanya memberikan hak-hak politik, sementara di bidang ekonomi massa akan terus serba kekurangan.
Menurut Soekarno, untuk mencapai suatu masyarakat tanpa kelas-kelas tertindas di Indonesia, tidaklah cukup bagi kaum Marhaen yang akan memperjuangkannya untuk menjadi kaum revolusioner borjuis dengan kemerdekaan sebagai tujuan akhir mereka. Mereka harus menjadi orang-orang revolusioner sosial dan tidak boleh berhenti sebelum terwujudnya kebahagiaan bagi semua orang, bagi seluruh komunitas Indonesia. Kepada perjuangan itu, Soekarno memberikan nama yang baru saja ia ciptakan yaitu Sosionasionalisme atau nasionalisme Marhaen (Dahm, 1987: 181).
Karena bernada Marxis, maka gagasan-gagasan di balik asas-asas Marhaenisme: Sosionasionalisme dan Sosiodemokrasi itu perlu dianalisa untuk mengetahui kandungan Marxis dari Marhaenisme ciptaan Soekarno itu. “Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme”, demikianlah bunyi tesis terakhir dari Sembilan tesis tentang Marhaen dan Marhaenisme yang dikemukakan dalam sebuah kongres Partai Indonesia dalam bulan Juli 1933, dan yang tidak lama kemudian diuraikan lebih lanjut oleh Soekarno. Dengan begitu, maka Marhaenis adalah tiap orang Indonesia yang bersedia bekerjasama untuk membangun sebuah tatanan social yang adil. Dengan demikian, tidak saja gagasan tentang perjuangan kelas dihindari, tetapi juga individu-individu diberi kebebasan untuk bekerjasama dalam perjuangan kaum miskin dan tertindas bagi masa depan yang lebih baik, tanpa memandang kedudukan sosial dan ekonomi mereka; ini berlaku bahkan bagi golongan kaya.
Sementara teori Marxis berkembang atas dasar antithesis yang eksak, maka Soekarno tetap berpegang pada sintesisnya, bahkan pada waktu ia merasa sangat dekat dengan Marxisme. Kata Marhaen itu sendiri merupakan bukti yang paling baik. Di dalam tesisnya yang ketiga dikatakan, bahwa Partindo menggunakan kata Marhaen dan bukan proletar, karena kaum proletar sudah tercakup di dalam kata Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak bermaktub di dalamnya.
Kemudian dalam tahun 1933, Soekarno menulis dalam Fikiran Rakyat mengenai Marhaen dan Proletar, yaitu suatu uraian mengenai keputusan konperensi Partindo (Partai Indonesia) mengenai ideologi baru itu di Mataram (Yogyakarta) yang dikemukakan dalam bentuk 9 dasar pokok Marhaen dan Marhaenisme. Dalam artikel ini Soekarno berusaha menghubungkan Marhaenisme dengan Marxisme, atau apa yang disebut Bernhard Dahm sebagai Marhaenist version of Marxism.
Dasar pokok pertama mengemukakan bahwa Marhaenisme berarti sosial-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Dasar pokok kedua menyatakan bahwa Marhaen mencakup kaum proletar, kaum tani, dan kaum melarat lainnya. Oleh karena itu (dasar pokok ketiga) Marhaen lebih luas dari proletar, karena ia mencakup segala macam kaum yang melarat. Tetapi (dasar pokok kelima) di dalam perjuangan (Partindo) berkeyakinan bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali. Soekarno sengaja mengupas dasar pokok kelima ini. Walaupun Marhaen menunjukkan perbedaan-perbedaan dengan proletar, katanya, tapi pada “punt” kelima ini diakui bahwa peranan kaum proletar adalah penting sekali, dan ini disebutkannya sebagai segi modern dari Marhaenisme sebab kaum proletarlah yang lebih hidup di dalam ideologi modern yang anti-kolonialis dan anti-imperialis. Ideologi modern yang dimaksud tak lain adalah Marxisme atau Komunisme (Alfian, 1978: 122-123).


[1] Marhaen adalah nama Sunda yang umum dipakai di daerah pedesaan Jawa Barat. Nama ini menimbulkan gambaran seorang petani kecil, sama seperti ‘Kromo’ di daerah perkotaan adalah nama orang kebanyakan. Di kemudian hari Soekarno akan menjuluki pengikutnya yang berasal dari proletariat Indonesia sebagai ‘kaum Marhaen’ dan ‘kaum Kromo’ (Giebels, 2001: 59).


DAFTAR RUJUKAN

Alfian. 1987. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Dahm, Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES.

Faith, Herbert & Castles, Lance (Eds). 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.

Giebels, Lambert. 2001. Soekarno: Biografi 1901-1950. Jakarta: Grasindo.

Hartisekar, Markonina dan Isjani Abadi, Akrin. 2001. Mewaspadai Kuda Troya Komunisme di Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Sarana Kajian.

Kaelan dan Zubaidi, Ahmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.

Mulyana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKiS.

Soekarno. 2010. Indonesia Menggugat. Jakarta: Fraksi PDI-Perjuangan DPR-RI.

Toto K. Rahardjo, Iman & WK, Imam. 2001. Bung Karno dan Tata Dunia Baru: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Grasindo.

_________________________________. Bung Karno dan Ekonomi Berdikari: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Grasindo.

Triatmono, Hero (Ed). 2010. Kisah Istimewa Bung Karno. Jakarta: Kompas.

Wardaya SJ, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 Hingga G 30 S. Yogyakarta: Galang Press.


Runtuhnya Kekuasaan Shah dan Timbulnya Revolusi Islam Iran


 Dinasti Pahlevi
Dinasti pahlevi adalah sebuah dinasti atau pemerintahan kekaisaran terakhir di Iran. Dinasti ini berdiri pada 1925 setelah pendiri dinasti ini, Reza Syah Pahlevi, melakukan kudeta kepada raja sebelumnya, Ahmad Shah Qajar, dari dinasti Qajar[1]. Seterlah berkuasanya Shah Reza Palevi[2], maka dimulailah modernisasi di Iran, reza syah membangun dan memodernisasi berbagai aspek kehidupan masyarakat iran, seperti kesehatan, pendidikan,ekonomi, infrastruktur, transportasi dan bidang sosial kebudayaan. Pada masa perang dunia II iran mengalami masalah dengan pihak sekutu, hal ini dikarenakan kedekatan iran dengan pihak jerman, jerman adalah mitra iran dalam mengembangkan moderinisasinya. Dengan kekalahan jerman pada perang dunia II, shah reza pahlevi dipaksa turun dari tahtanya oleh pihak sekutu, dan diangkatlah putranya, Mohammad Reza Pahlevi, sebagai raja iran berikutnya.
Pada masa Mohammad Reza Pahlevi ini, moderinisasi begitu gencar dilaksanakan. Berbeda dengan ayahnya yang berkiblat pada jerman, Muhammad reza pahlevi lebih condong pada Amerika sereikat. Modernisasi yang dilakukanya pun sering kali tidak menghiraukan norma atau aturan agama islam terutama syiah yang menjadi mayoritas di iran, hal ini membuat kebanyakan mullah atau ulama iran menmentangnya. Keputusanya untuk tidak tunduk pada konstitusi walaupun kala itu iran berstatus kerajaan konstitusional, membuatnya banyak di tentang oleh pihak-pihak oposisi dan komunis kiri. Sikap raja pada para lawan politiknyapun sangat keras hal ini karena ia didukung oleh kekuatan militer iran dan dinas polisi rahasia. Karena hal-hal tersebut ditambah maraknya praktik korupsi yang kian merajalela membuat banyak aksi perlawanan timbul di iran, baik yang di pimpin politisi, golongan kiri maupun lpara agamawan syaiah. Puncaknya adalah ketika demonstrasi besar-besaran yang dilakukan masyarakat muslkim berhasil menggulingkan kekuasaan raja di iran dan dimulailah era baru iran sebagai sebuah republik di bawah pimpinan ulama syiah bernama Ayatullah Rohollah Khomieni pada 1979.

REVOLUSI IRAN

Revolusi Iran (juga dikenal dengan sebutan Revolusi Islam Iran), merupakan revolusi yang merubah Iran dari Monarki (kerajaan) di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, menjadi Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini pemimpin revolusi dan pendiri Republik Islam Iran[3]. Sering disebut pula “revolusi besar ketiga dalam sejarah,” setelah Revolusi Perancis dan Revolusi Bolshevik.
Berbagai peristiwa 1953 merupakan momenmomen fundamental dalam konstruksi hubungan AS-Iran menggeser kecurigaan rakyat Iran dari poros Anglo – Russia kea rah Amerika. Peristiwa – peristiwa 1979 Mengkristalisasi tradisi ini. Revolusi 1979 mengikat Iran dan AS dalam sebuah hubungan ideologis yang intim, yang ditentukan oleh sebuah pengalaman kolektif bersama yang traumatis. Histeria politik yang menandai berbagai reaksi Britania terhadap Iran pada 1951. Persentuhan Amerika dengan revolusi Iran dan implikasi yang ditimbulkan media massa memastikan kedua belah pihak sama – sama mempertahankan mitologi revolusi masing – masing. Bagi mereka yang menganut ideologi revolusioner iran, Revolusi Islam mengindikasikan pelepasan diri dari masa lalu, yang didefinisikan oleh pemutusan hubungan dengan Amerika serikat. Pemutusan hubungan ini didefinisikan dengan pengambilalihan kedutaan AS pada November 1979. Dan pengambilalihan kekuasaan diinterpretasikan dalam konteks campur tangan asingsepanjang lebih dari 150 tahun dinegara itu, terutama keterlibatan AS dalam penggulingan Moshaddeq pada 1953. Walau pengabil alihan kedutaan itu merupakan sebuah momen menentukan, peristiwa itu tetaplah menjadi sebuah bagian dari proses yang lebih luas dan tidak dianggap sebagai sebuah bagian sebuah bagian penting oleh kaum revolusi Iran. Oleh karenanya, dalam pandangan  revolusioner populer, pemutusan hubungan diploatik antara Iran dan AS dipisahkan dari realitas penyanderaan, dan malah diterjemahkan sebagai sebuah konsekuensi alami darikenyataan bahwa Amerika serikat tidak memahami Revolusi Islam Iran. Oleh karenanya ada sebuah logika revolusioner yang dibangun secara structural dan menjadi letak peristiwa pengambilalihan kedutaan namun dianggap bukan faktor penyebab (Anshari,90:2008)
  
Pada 1975 Shah memulai sebuah periodisasi liberalisasi gradual, bereksperimen dengan diskusi dan debat bebas didalam parameter ketat partai rastakhiz. Ini sebuah aksi basa – basi, lebih merupakan symbol daripada substansi, yang tidak banyak meyakinkan banyak orang dan kemudian dikalahkan oleh keinginan shah untuk mengubah Iran sesuai dengan bayangannya sendiri. Yang paling mengkhawatirkan bagi kaum tradisional adalah keputusannya yang secara tiba –tiba menetapkan kalender kekaisara , dimana rakyat Iran dalam sekejap menemukan diri mereka dalam sebuah penanggalan yang dimulai dimasa kekaisaran Persia (berarti saat itu tahun 2535). Peristiwa ini menegaskan kekhawatiran semakin berkembangnya sifat megalomania shah sebagaimana disebutkan dalam laporan terdahulu. Namun, membiarkan ego sang raja masih lebih baik daripada menentangnya.
Shah pernah diundang ke Washington pada November 1977 (di mana gas air mata yang digunakan untuk membubarkan demonstran membuat Presiden terhina dan para tamu dari Iran menyeka air mata mereka dalam sorotan Televisi), dan kini Carter membalas keramahan itu dengan menghabiskan malam tahun baru di Teheran.
Shah terus memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri dan menutup segala peluang untuk perbedaan pendapat, Khomeini yang bicara blak –blakan menjadi kaum oposisi yang mencari arahan dan kepemimpinan setelah dikecewakan oleh kelas politik di dalm negeri. Kemampuan Khomeini menarik kaum tradisionalis dan kaum muda progresif diabaikan oleh Shah, yang tidak mengerti mengapa anakronisme nyata semacam itu dapat menarik kaum muda idealis. Berbagai laporan diplomatic mengindikasikan bahwa sebagian pengamat Barat tidak yakin tentang cap “reaksioner” yang diberikan kepada Khomeini oleh Savak. Namun, Shah memutuskan pada Januari 1978 bahwa sudah waktunya untuk menangani Khomeini. Sebagai balasan atas khotbah terakhir Khoemini, Shah membuat tulisan opini penuh caci maki di surat kabar Persia Etelaat di mana sang Ayatullah yang mulai berumur digambarkan sebagai boneka Britania yang memiliki asal-usul India. Terlepas dari cacian itu, sebagian besar dari tulisan tersebut merupakan sebuah pengulangan kosong mengenai visi imperialnya, yang menbuat banyak orang tidak meragukan sumbernya.
Dilihat secara parsial, artikel opini itu merupakan sebuah tindakan tiada guna.
Artikel ini menyinggung banyak isu Iran tahun 1970-an sehingga memicu gelombang kemarahan dan kemurkaan di kalangan pengikut Ayatullah Khomeini. Sebagian sudah siap untuk momen seperti ini, dan para pengamat mengatakan bahwa kedisiplinan di kalangan “kerumunan” tetap terjaga, dengan sedikit penjarahan secara acak dan pembidikan bangunan-bangunan pemerintah yang spesifik. Demonstrasi dan huru-hara meledak di Qom dan Tabriz, dimana pemerintah tidak siap menghadapinya, dengan mengirim deretan tank bukannya pengendali huru-hara. Konsul Amerika di menceritakan bahwa huru-hara tersebut sebgian besar bermotif religious dengan nyanyian anti monarki dan serangan terhadap para wanita yang berpakaian kurang layak namun tanpa indikasi sentiment anti Barat selain upaya sesaat massa untuk menyerang beberapa hunian Barat. Namun pada awal musim panas, sikap anti-Amerika menjadi bagian esensial dalam strategi oposisi, dengan tujuan menakut-nakuti para pekerja Amerika dan melemahkan apa yang dianggap banyak pihak sebagai tonggak utama rezim monarki.
Walaupun beberapa orang berpendapat bahwa revolusi masih berlangsung, rentang-waktu terjadinya revolusi terjadi pada Januari 1978 dengan demonstrasi besar pertama, dan ditutup dengan disetujuinya konstitusi teokrasi baru – dimana Khomeini menjadi Pemimpin Tertinggi negara – pada Desember 1979. Sebelumnya, Mohammad Reza Pahlavi meninggalkan Iran dan menjalani pengasingan pada Januari 1979 setelah pemogokan dan demonstrasi melumpuhkan negara[4], dan pada 1 Februari 1979 Ayatullah Khomeini kembali ke Teheran dari pengasingannya yang disambut oleh beberapa juta orang Iran.

Kejatuhan terakhir Dinasti Pahlavi segera terjadi setelah1 Februari 1979 dimana Angkatan Bersenjata Iran menyatakan dirinya netral setelah gerilyawan dan pasukan pemberontak mengalahkan tentara yang loyal kepada Shah dalam pertempuran jalanan. Iran secara resmi menjadi Republik Islam pada 1 April 1979 ketika sebagian besar Bangsa Iran menyetujuinya melalui referendum nasional.

Revolusi Iran ini memiliki keunikan tersendiri karena mengejutkan seluruh dunia. Revolusi Iran menghasilan perubahan yang sangat besar dengan kecepatan tinggi ; mengalahkan sebuah rejim, walaupun rejim tersebut dilindungi oleh angkatan bersenjata yang dibiayai besar-besaran dan pasukan keamanan; dan mengganti monarki kuno dengan ajaran teokrasi yang didasarkan atas “Guardianship of the Islamic Jurist” (atau velayat-e faqih). Hasilnya adalah sebuah Republik Islam “yang dibimbing oleh ulama berumur 80 tahun yang diasingkan ke luar negeri dari Qom“.

Revolusi ini terjadi 2 tahap. Tahap pertama bermula pada pertengahan 1977 hingga tahun 1979 yaitu pemberontakan menentang Shah Iran yang dipimpin oleh pihak liberal, golongan haluan kiri dan kaum agama. Tahap kedua kembalinya Ayatollah Khomeini ke Iran dari pengasingannya di Perancis dan menjadi pemimpin Revolusi Iran pada 1 Pebruari 1979[5] .

Penyebab terjadinya Revolusi Iran akibat kesalahan-kesalahan Shah Iran

Kebijakan Shah Iran yang kuat untuk melakukan westernisasi dan kedekatan dengan negara barat (Amerika Serikat) berbenturan dengan identitas Muslim Syi’ah Iran. Hal ini termasuk pengangkatannya oleh Kekuatan Sekutu dan bantuan dari CIA pada 1953 untuk mengembalikannya ke kekuasaan, menggunakan banyak penasihat dan teknisi militer dari Militer Amerika Serikat dan pemberian kekebalan diplomatik kepada mereka, semua hal tersebut membangkitkan nasionalisme Iran, baik dari pihak kaum agama dan maupun sekuler menganggap Shah Iran sebagai boneka barat. (Sumber: Wikipedia).

Pendukung utama revolusi iran ini adalah kaum agamawan muslim terutama mereka yang berasal dari golongan Syi’ah. Kota-kota basis pendukung revolusi ini adalah Teheran, Qom dan Masyhad.
Dampak revolusi iran dalam bidang politik[6] adalah bergantinya bentuk kerrajaan menjadi republik islam dimana terdapat presiden dan jajaranya sebagai kepala pemerintahan, namun juga terdapat dewan ulama yang menjadi semacam atasan badan eksekutif, legislatif, yudikatif maupun angkatan bersenjata. Pada awal revolusi islam dewan ini dipimpin oleh ayatollah rphollah khomeini, sepeninggal beliau, kedudukanya digantikan olerh ayatollah ali khameni. Bentuk pemerintahan seperti ini juga bisa disebut sebagai teokrasi, yaitu dimana tuhan lah yang menjadi pemimpin negara, hanya saja ia diwakili oleh pemuka agama atau pejabat yang memperoleh petunjuk illahi.
Ayatollah adalah gelar peringkat tinggi yang diberikan kepada Dua Belas Ulama Syiah Usuli. Mereka yang membawa gelar tersebut adalah ahli dalam studi Islam seperti hokum, etika, dan filsafat dan biasanya mengajar di seminari Islam. Para ulama peringkat yang lebih rendah berikutnya adalah Hojatoleslam wal-muslemin. Ayatollah adalah sama di peringkat Uskup atau Kardinal dalam Katolik, dan Rabbi Kepala dalam Yudaisme.
Nama "Ayatollah" berasal dari Al-Qur'an di mana manusia juga dapat dianggap sebagai tanda-tanda Allah, terjemahan literal dari judul. 51:20–21 of the Quran states: 51:20-21 dari Quran menyatakan:
“Di bumi adalah tanda-tanda (ayat) untuk kaum yang meyakini, Seperti juga dalam diri Anda sendiri: Apakah kamu tidak melihat?”
Dari sekian banyak ayatollah dikenal sebutan ayatollah utama atau Grand Ayatollah, beberapa nama ayatollah utama yang terkenal antara lain, Ayatollah Rohollah Khomeini, Ayatollah Ali Khameni, dan ayatollah Ali sistani, mereka adalah beberapa nama ulama yang juga menjadi pemimpin spiritual bangsa Iran.








DAFTAR PUSTAKA



Ansari, Ali . 2008 Supremasi Iran : Poros Setan atau Super Power Baru. Jakarta : Zahra
Cahyo, Agus. 2011. Tokoh-Tokoh Dunia yang Paling dimusuhi Amerika dan Sekutunya. Jogjakarta : Diva Press
Fealy, Greg. 2007. Jejak Kafilah : pEngaruh Radikalisme di Indonesia. Bandung : Mizan
Maulan, Mirza. 2007. Mahmoud Ahmadinejad : Singa Persia VS Amerika Serikat. Jogjakarta : Garasi

partai politik pada pemilu 1999


Partai sebagai kekuatan politik merupakan suatu gejala baru bagi semua negara di dunia ini, dalam arti bahwa umurnya tidak setua umur masyarakat manusia. Istilah partai politik baru muncul pada abad 19 dengan semakin berkembangnya lembaga – lembaga perwakilan dan meningkatnya frekuensi pemilihan umum dan meluasnya hak mereka yang bisa mengambil bagian dalam pemilihan umum. Pada tahun 1850 tidak ada satu negara pun di dunia (kecuali Amerika Serikat) mengenal partai dalam pengertian moderen. Ada alur – alur pendapat kelompok – kelompok rakyat didalam parlemen, tetapi belum ada partai politik dalam arti sebenarnya. Namun menurut catatan banyak ahli pada tahun 1950-an hamper semua nation – states di dunia sudah memilikipartai politik, dan bagi kebanyakan negara – negara partai politik, dan bagi kebanyakan negara – negara partai politik menarik perhatiannya karena partai politik bias menjadai kekuatan tandingan menentang penjajahan. Karena itu banyak negara yang baru muncul mencita –citakan partai, dan kepadanya para warga menggantungkan harapan. (Dhakidae dalam Bulkin, 1988:189).  Menurut Harold D Lassweil: politik adalah soal ”siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana”. Dan menurut Joyce Mitchell: politik adalh pengambilan keputusan kolektifatau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya. Sedangkan menurut Karl W. Deutsch: politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum (Hermawan, 2001:2) Bagi Indonesia sendiri kehidupan partai politik baru dapat dilacak kembali secara samar – samar sampai tahun 1908, dikatakan karena organisasi – organisasi yang memberi kesan adanya partai politik, dalam kenyataanya bukan partai dalam pengertian moderen. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha mengendalikan proses politik.

Partai politik adalah alat yang paling ampuh bagi manusia untuk mencapai tujuan – tujuan politiknya. Dari urgensi partai politik inilah muncul pameo dalam masyarakat “politisi moderen tanpa partai politik sama dengan ikan yang berada diluar air”. Hubungan antara partai sebagai institusi yang menjadi alat manusia untuk mengendalikan kekuasaan dengan masyarakatnya sangat erat sekali. Sebagai alat yang paling ampuh dalam perkembangannya partai telah menampakkan sejarahnya yang telah mengalami pasang naik dan pasang surut pada kurun waktu dan tempat tertentu, tergantung dengan kebudayaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Sebagai suatu warisan dari dunia barat maka persepsi masyarakat terhadap partai politik juga terpengaruh oleh kebudayaan mayarakat yang telah melahirkan itu. (karim, 1983:1)
Ada 3 teori mengenai asal – usul partai politik, antara lain:
1. Teori kelembagaan
Teori ini melihat adanya hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Partai politik dibentuk oleh kalangan legislative ( dan eksekutif) karena ada kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkaan) untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lainyang dibentuk oleh kalangan masyarakat.
2. Teori historik
             Teori ini melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sisitem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Krisis situasi historis terjadi manakala suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari bentuk radisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat moderen yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini, terjadi berbagai perubahan seperti pertambahan penduduk karena perbaikan fasilitas kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi dll. Perubahan –perubahan itu menimbulkan tiga macam krisis: legitimasi, integrasi dan partisipasi. Artinya, perubahan mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip – prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan pihak yang memerintah, sehingga timbul masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa; dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar untuk ikut serta dalam proses politik. Untuk mengatasi tiga permasalahan inilah partai politik dibentuk.
3. Teori pembangunan
            Teori ini melihat partai politik sebagai produk moderenisasi sosial ekonomi. Moderenisasi melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi dalam proses tersebut. Jadi, partai politik merupakan produk logis dari moderenisasi social ekonomi. (Hermawan, 2001:70)

 FUNGSI DAN TUJUAN PARTAI POLITIK
Partai politik menjalankan fungsi sebagai alat mengkomunikasikan pandangan dan prinsip-prinsip partai, program kerja partai, gagasan partai dan sebagainya. Agar anggota partai dapat mengetahui prinsip partai, program kerja partai atau pun gagasan partainya untuk menciptakan ikatan moral pada partainya, komunikasi politik seperti ini menggunakan media partai itu sendiri atau media massa yang mendukungnya.
Partai politik hanyalah sebuah mekanisme unuk penyampaian pilihan suara rakyat. Partai sebagai wadah bagi pilihan suara rakyat. Dengan begitu partai –partai harus mendemonstrasikan pandangan atau visi dan misinya untuk secara terus menerus memperbaiki nasib bangsa dan rakyat. Setiap partai politik harus berlomba – lomba meawarkan programnya yang terbaikkepada masyarakat, agar menjadi pemenang pilihan rakyat. Akan tetapi, kemenangan dalam pemilu masih harus diuji lagisejauh mana visi dan misi partai pemenang bias diwujudkan sebagaimana pernah dijanjikan dan menjadi harapan pemilih (Pamungkas, 2001:302)

 Ada keterangan lain mengenai fungsi partai politik, antara lain:
1.      Sosialisasi partai politik, yaitu proses pembetukan sikap dan orientasi politik  pada anggota masyarakat.
2.      Rekruitmen politik, yaitu seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam system politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya.
3.      Partisipasi politik, yaitu kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan.
4.      Pemandu kepentingan, yaitu kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi beberapa alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
5.      omunikasi politik, yaitu proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada rakyat atau sebaliknya.
6.      Pengendalian konflik, parpol berfungsi mengendalikan konflik melalui dialog dengan pihak –pihak yang berkonflik. Menampung dan memadukan berbagai aspirasi ( cita – cita) dan kepentingan dan membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat (DPR) untuk mendapat penyelesaian berupa keputusan politik. (Hermawan, 2001:70)
Tujuan dari pembentukan partai politik menurut Undang-undang no.2 tahun 2008 tentang partai politik, yaitu:
  • mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945
  • menjaga dan memelihara keutuhan negara kesatuan republik Indonesia
  • mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik Indonesia
  • mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
  • meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan
  • memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
  • membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara


 PERAN SERTA PARTAI POLITIK PADA PEMILU 1999
      Pasca soeharto lengser, BJ. Habibi yang ketika itu menjadi wakil presiden menduduki jabatan Presidendalam era yang biasa di sebut transisi. Salah satu yang dibebankan kepada Habibi adlah percepatan pemilu yang akhirnya disepakati diselenggarakan pada 1999. Banyaknya partai politik yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pemilu 1999 merupakan bahan kajian yang cukup menark untuk disimak. Para tokoh di negara kita begitu besemangat mendirikan partai politik. Fenomena ini dianggap sebuah pejalanan sejarah yang wajar, karena setelah tiga puluh dua tahun dikungkung dalam rezim tiran. Ketika rezim tirani berhasil dilumpuhkan, rakyat meresponnya dengan beragam. Salah satunya adalh berlomba – lomba mendirikan partai politik sampai berjumlah ratusan. Berikut ini adalah nama-nama partai politik yang mengikuti pemilu 1999





1
 Partai Indonesia Baru

25. Partai Nahdlatul Ummat
2
Partai Kristen Nasional Indonesia
26
. Partai Nasional Indonesia – Front Marhaenis
3
Partai Nasional Indonesia – Supeni
27
Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
4
Partai Aliansi Demokrat Indonesia
28
Partai Republik
5
Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
29
Partai Islam Demokrat
6
Partai Ummat Islam
30
Partai Nasional Indonesia – Massa Marhaen
7
Partai Kebangkitan Ummat
31
Partai Nasional Bangsa Indonesia
8
Partai Masyumi Baru
32
Partai Musyawarah Rakyat Banyak
9
Partai Persatuan Pembangunan
33
Partai Demokrasi Indonesia
10
Partai Syarikat Islam Indonesia
34
Partai Golongan Karya
11
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
35
Partai Persatuan
12
Partai Abul Yatama
36
Partai Kebangkitan Bangsa
13
Partai Kebangsaan Merdeka
37
Partai Uni Demokrasi Indonesia
14
Partai Demokrasi Kasih Bangsa
38
Partai Buruh Nasional
15
Partai Amanat Nasional
19
Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
16
Partai Rakyat Demokratik
40
Partai Daulat Rakyat
17
Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
41
Partai Cinta Damai
18
Partai Katolik Demokrat
42
Partai Keadilan dan Persatuan
19
Partai Pilihan Rakyat
43
Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
20
Partai Rakyat Indonesia
44
Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
21
Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
45
Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
22
Partai Bulan Bintang
46
Partai Nasional Demokrat
23
Partai Solidaritas Pekerja
47
Partai Ummat Muslimin Indonesia
24
Partai Keadilan
48
Partai Pekerja Indonesia

      Pemilu 1999 termasuk kategori pemilu yang dilaksanakan dengan persiapan paling singkat, yakni 13 bulan. Tentunya dengan persiapan yang singkat itu terdapat banyak kekurangan. Diantaranya adalah faktor keamanan dan draft UU yang pemilu yang pro kontra. Tetapi meskipun banyak kekurangan, pemilu tetap dilaksanakan sesuai jadwal, yakni 17 juni 1999. Justru kekhawatiran terhadap situasi yang kurang
 kondusif pasca pemilihan tidak terbukti. Peristiwa kerusuhan – kerusuhan kecil memang terjadi, namun tidak terlalu mengganggu proses pengambilan suara yang dilakukan di beberapa daerah.
      Tapi itu bukan berarti pemilu 1999 berlangsung lancar – lancar saja. Pada saat penyerahan hasil perhitungan suara, 27 partai menolak menandatangani berita acara pemiludengan alasan masih belum memenuhi prinsip kejujuran dan prinsip keadilansebagai asas utamanya. Sikap menolak tersebut ditunjukkan dalam sebuah agenda rapat pleno yang diadakan oleh KPU. Ke -27 partai tersebut adalah PK, PNU, PBI, PDI,Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, PartaI SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP dan PARI. Karena mendapat penolakan dokumen rapat KPU kemudian diserahkan kepada presiden. Dari presiden diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tanggung jawab untuk memeriksa keberatan yang diajukan oleh ke – 27 partai tersebut. Hasilnya, panwaslu ternyata menetapkan bahwa pemilu sudah sah. Alasan yang dipakai oleh KPU adalah keberatan tidak disertai dengan bukti – bukti lapangan yang valid.

Dengan berbagai karakter dan klasifikasi partai seperti itu, pemilu 1999 berhasil dilaksankan dan menampilkan enam partai yang akan memegang peran kunci dalam proses-proses konsolidasi demokrasi. Enam partai itu adalah: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan jumlah perolehan suara 33,7 % dan perolehan kursi di DPR 153, Partai Golkar dengan perolehan suara 22,4 % dan perolehan kursi 120, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan perolehan suara 12,6 % dan jumlah perolehan kursi 51, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan perolehan suara 10,7 % dan jumlah kursi 58, Partai Amanat Nasional (PAN) dengan perolehan suara 7,1 dan jumlah kursi 34, terahir Partai Bulan Bintang (PBB) dengan perolehan suara 1,9 dan jumlah kursi 13. Atas pelbagai koalisi dan transaksi politik yang dibangun, Abdurrahman Wahid sebagai tokoh PKB terpilih sebagai presiden, Megawati Sukarno Putri sebagai tokoh PDIP terpilih seabagai wakil presiden, Amin Rais sebagai tokoh PAN terpilih sebagai ketua MPR, Akbar Tanjung sebagai tokoh Golkar terpilih sebagai ketua DPR, dan Hamzah Haz sebagai tokoh PPP serta Yusril sebagai tokoh PBB masuk kedalam posisi penting dalam Kabinet Persatuan-nya Abdurrahman Wahid.
: